............... la berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya tulangku sudah lemah, kepalaku sudah putih oleh uban, dalam pada itu, wahai Tuhanku, belum pernah aku kecewa dalam doaku kepada Engkau.
Dan sesungguhnya kuatir aku mengingatkan keturunan dibelakangku nanti, sedangkan isteriku adalah mendul (tidak bisa dapat anak). Oleh karena itu kurniakanlah langsung dari pada-Mu seorang keturunan, yang akan mewarisi aku dan mewarisi keluarga Ja'kub dan jadikanlah ia, ya Tuhanku seorang yang Engkau ridai". (Our'an, s. Maryam 4—6)
Demikianlah bunyinya ratap-tangis dari Nabi Allah Zakaria. Ratap-tangis seorang Nabi, seorang pemimpin, tatkala ia melihat bahwa kekuatannya sudah kian berkurang, saat ia akan meninggalkan dunia yang fana ini semakin terasa mendekat.
Ia amat kuatir mengingat nasib umat yang ia tuntun, apabila ia sudah tidak ada lagi. Ia kuatir, sebab belum ada tampak yang akan menggantikannya. Ia kuatir, patah tak akan tumbuh, hilang tak akan berganti.
Umur umat lebih lama dari umur seorang pemimpin. Umur pimpinan umat harus lebih lama dari umur seseorang yang pada satu masa memikul pimpinan. Maka doa yang diratapkan oleh jiwa yang saleh dan muchlis dari Nabi Allah Zakaria itu, sebenarnya harus jadi ratapan jiwa kita juga yang memegang amanah pimpinan umat, dilapangan manapun juga kedudukan kita. Dalam lapangan agama, politik ataupun lain-lain-nya.
Memimpin adalah memegang untuk dapat melepaskan. Bukan kemegahan yang hakiki bagi pemimpin, apabila selama ia ada, pimpinan berjalan dengan baik, sehingga nama dan usaha pimpinannya berjalin dihati rakyat, sebagai dua hal yang tak dapat dipisahkan, — tetapi tatkala pada satu saat dia tak ada lagi, segala sesuatunya menjadi berantakan dan kacau-balau, umat yang dipimpinnya dihinggapi penyakit bingung dan kuatir. Lantaran “beliau" tak ada lagi !
Memang, mengumpulkan dan membimbing se-anyak-banyak pengikut adalah kewajiban pemimpin. Dalam pada itu adalah kewajibannya yang utama : menyuburkan tumbuhnya pengganti, yang akan menyambung pimpinannya kelak.
Seorang pemimpin tak kan timbul dengan sekedar diberi pelajaran.
Ia hanya bisa mekar dalam tekanan pertanggungan-jawab yang dipikulkan atas dirinya, baik kecil atau besar. Tanggung-jawab adalah ujian. Dua kemungkinan bisa berlaku: ia patah atau ia berkembang.
Ini tergantung kepada persiapan dan watak yang ada padanya dan kepada kemampuannya mempergunakan pengalaman dan buah pikiran orang-orang yang lebih dahulu; begitu juga kepada achlaknya, dan kepada kecakapannya menempatkan diri.
Fungsi pemimpin tua bukan untuk mematahkan akan tetapi membentuk penyambung. Tiap-tiap persambungan bukan berarti perceraian, akan tetapi pertemuan dan berangkainya dua ujung. Antara tunas yang akan berkembang dan pelepah yang akan turun, menurut sunnatullah yang tak dapat dielakkan, ada persambungan.
Pertumbuhan yang semacam ini kelihatan disemua lapangan. Partaipun tidak terkecuali. Maka tidak pada tempatnya apabila kita melihat tanda-tanda pertumbuhan ini dari sudut antagonisme atau pertentangan.
Akan tetapi harus dilihat dari sudut keharusan persambungan tenaga atau kontinuitet, sebagai syarat mutlak bagi kelandjutan perjuagan.
Dengan dasar pandangan yang demikian inilah kita harus melihat proses persambungan-tenaga pimpinan yang sedang berlaku di-daerah-daerah sekarang ini, yang bukanlah sebagai suatu “kegentingan" atau yang semacam itu, akan tetapi sebagai satu alamat yang menggirangkan hati, yakni bahwa pimpinan perjuagan kita dibelakang hari tidak akan patah ditengah. Satu alamat, bahwa masyarakat Islam bukanlah “'aqir" atau mendul akan tetapi subur dan mempunyai potensi yang besar untuk melahirkan tunas-tunas muda dari angkatan baru yang akan mengulas dan menyambung tenaga-tenaga mereka yang “tulangnya sudah berangsur lemah".
Maka kepada tunas muda kita berikan udara dan cahaya yang secukupnya untuk berkembang mekar: tanggung-jawab yang harus dipikulnya dengan jiwa gembira dan penuh inisiatif; hasil-hasil pengalaman yang sudah kita peroleh sendiri dengan pahit-getir selama ini; bahan-bahan pertimbangan, ter-kadang-kadang berupa pedoman, tempo-tempo berupa nasihat dan tegoran, menurut keperluannya.
Perlu kita ketahui bahwa ter-kadang-kadang “si tunas-muda", — biasanya enggan mengakui secara lahir, sebagai pembawaan usia mereka —, bahwa mereka perlu kepada “lindungan" pelepah, dari angin-ribut yang mendatang, tapi tak urung harus kita berikan atas dasar uchuwah dan kecintaan.
Kita iringi dengan doa “wadj'alhu, rabbi radlijan" (Q.s. Maryam: 6).
Belum sempurna tunai kewajiban kita sebagai pemimpin, sekiranya kita belum berpikir dan bertindak seperti itu.
Hanya dengan demikianlah umat Islam akan terjamin persambungan perjuagannya dihari depan, sebagai syarat mutlak bagi kemenangan kita.
oleh : M. Natsir......
Maret 1950
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan Hanya Baca Saja, Di Tunggu Komentarnya ^_^
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.