Islam adalah lawan dari kekufuran. Yang dipandang sebagai musuh adalah
kekufuran, dan berarti kekuatan yang mendukung implementasi, mempertahankan
atau mempromosikan sistem kufur. Kalau kekufuran diibaratkan kemiskinan, maka
Islam tidak memerangi orang-orang miskin an sich, namun memerangi kemiskinan,
dan berarti orang-orang yang membuat kemiskinan terus terjadi, yaitu para
tiran, orang-orang yang terus berbuat kerusakan (fasiq) dan orang-orang yang
berlaku tidak adil (dhalim).
Perlawanan Islam terhadap kekufuran dan permusuhan kekufuran atas Islam
akan terus terjadi. Rasulullah Saw mendapat informasi dari Allah SWT serta
beberapa perintah sebagai berikut:
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang melampaui batas. (Qs. al-Baqarah [2]: 190)
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga)
agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu),
maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (Qs.
al-Baqarah [2]: 193).
Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang
yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya
berdo’a: “Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim
penduduknya dan berilah kami pelindung dan penolong dari sisi Engkau”. (Qs.
an-Nisaa’ [4]: 75).
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi
dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu)
kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan
pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan
dianiaya (dirugikan). (Qs. al-Anfaal [8]: 60).
Dari ayat-ayat di atas jelas bahwa peperangan dalam kerangka jihad bisa
terjadi karena (1) kaum muslimin diserang; (2) untuk melenyapkan fitnah
(kekufuran) dan permusuhan; (3) demi membela yang tertindas –tanpa melihat
agama mereka.
Untuk antisipasi peperangan melawan kekufuran yang selalu mungkin terjadi itu, kaum muslimin diwajibkan menyiapkan segala kekuatan yang dapat menggentarkan musuh, baik itu kekuatan iman, ilmu pengetahuan dan teknologi, malliyah, jasmaniyah, organisasi militer dan juga kekuatan dakwah. Seluruh potensi ummat diarahkan kepada peperangan tiada akhir melawan kekufuran, melawan sesuatu yang menghalangi missi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam, dan missi muslim sebagai khalifatul fil ardh.
Dalam hubungannya dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, meski terdapat
ayat:
Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti millah mereka… (Qs. al-Baqarah [2]: 120).
Namun ayat ini tak pernah dipakai kaum muslimin sebagai legitimasi
memerangi Yahudi dan Nasrani, hanya karena agama mereka. Justru sebaliknya,
kaum Yahudi dan Nasrani di dalam Darul Islam menikmati perlindungan yang tidak
mereka temukan di negara lain. Namun perang salib, yang lama maupun yang baru,
justru makin menunjukkan bahwa kekufuran adalah musuh kita, sampai kiamat tiba.
Fakta-fakta Perang Salib
Tidak terlalu mudah
mendapatkan gambaran yang akurat tentang peristiwa Perang salib yang sesungguhnya.
Beberapa penulis sejarah menggambarkannya berbeda-beda, dan sebagian tampak
berlebih-lebihan[1].
Kesulitan lainnya adalah
mengenai nama-nama tempat atau kerajaan dalam buku-buku sejarah lama yang tidak
dilengkapi peta, sehingga sulit dipastikan nama dan lokasinya di zaman modern
ini, apalagi bila buku-buku tersebut ditulis dalam bahasa yang berbeda-beda,
misalnya dari sumber berbahasa Arab atau Latin.
Pada tulisan ini sengaja dicari fakta-fakta dari sumber-sumber Islam dan non Islam, agar didapatkan keseimbangan informasi, terutama mengenai kondisi front masing-masing.
Secara keseluruhan perang
salib berlangsung selama hampir dua abad, dengan momen-momen penting sebagai
berikut:
Pada sinode di Clermont
Perancis, Paus Urbanus II (1088-1099) memulai inisiatif mempersatukan dunia
Kristen (yang saat itu terbelah antara Romawi Barat di Roma dan Romawi Timur
atau Byzantium di Konstantinopel). Kebetulan saat itu raja Byzantium sedang
merasa terancam oleh ekspansi kekuasaan Saljuk, yakni orang-orang Turki yang
sudah memeluk Islam.
Ketika terasa cukup sulit
untuk mempersatukan para pemimpin dunia Kristen dengan ego dan ambisinya
masing-masing, maka dicarilah suatu musuh bersama. Dan musuh itu ditemukan:
ummat Islam. Sasaran jangka
pendeknyapun didefinisikan: pembebasan tempat-tempat suci Kristen di bumi
Islam, termasuk Baitul Maqdis. Adapun sasaran jangka panjangnya adalah
melumat ummat Islam. Pasukan salib tidak berencana membunuh Khalifah. Yang
mereka rencanakan adalah membunuh Islam, menghapus khilafah dan menghancurkan
ummat yang melindunginya dan hidup untuknya. Apa artinya seorang Khalifah jika
lembaga Khilafah tak ada lagi? Apa yang bisa dikerjakan Khalifah jika ummat
yang dipimpinnya tewas semua? (Qs. Ali-Imran [3]: 169).
1096 – serangan salib
pertama diberangkatkan untuk merebut Yerusalem. Pada 1099 pasukan di bawah Gottfried von Bouillon
merebut Yerusalem. Mereka mendirikan negara-negara salib, yakni negara-negara
boneka di wilayah-wilayah yang diduduki tentara salib.
Namun karena kelemahan
Byzantium dan perpecahan di kalangan muslim sendiri, negara-negara boneka ini
berkembang sebagai negara-negara latin yang feodalistis dan tirani, di mana
seluruh penduduk yahudi dan muslim dihabisi.
Pada serangan salib kedua
(1147-1149) pasukan salib berusaha merebut wilayah-wilayah di sepanjang pantai
laut tengah, baik yang dikuasai
muslim maupun bukan, seperti misalnya wilayah Athena, Korinthia dan beberapa
pulau-pulau Yunani. Ini menunjukkan bahwa serangan salib sebenarnya tidak
spesifik ditujukan hanya kepada ummat Islam, karena memang kekufuran sebenarnya
musuh seluruh manusia –hanya saja ummat Islam adalah penghalang terbesar bagi
kekufuran itu.
Serangan salib ketiga
(1189-1192) terjadi setelah Sholahuddin al Ayubi berhasil mempersatukan kembali
wilayah-wilayah Islam di Mesir dan Syria.
Pada 1171 Sholahuddin berhasil menyingkirkan kekuasaan Fathimiyah di Mesir yang
merupakan separatisme dari Khilafah di Bagdad, dan mendirikan pemerintahan
Ayubiah yang loyal kepada Khalifah. Pada 1187 al-Ayubi berhasil merebut kembali
Yerusalem. Serangan salib ketiga ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang
paling terkenal: Friedrich I Barbarosa dari Jerman, Richard I Lionheart dari
Inggris dan Phillip II dari Perancis. Namun di antara mereka ini sendiri
terjadi perselisihan dan persaingan yang tidak sehat, sehingga Friedrich mati
tenggelam, Richard tertawan (akhirnya dibebaskan setelah memberi tebusan yang
mahal), sedang Phillip bergegas kembali ke Perancis untuk merebut Inggris
justru selama Richard tertawan.
Serangan salib keempat (1202-1204) terjadi ketika pasukan salib dari Eropa Barat ingin mendirikan kerajaan Norman (Eropa Barat) di atas puing-puing Yunani. Paus Innocentius III menyatakan pasukan salib telah murtad (excommuned). Di Konstantinopel permintaan-permintaan tentara salib menimbulkan perlawanan rakyat, yang dibalas tentara salib dengan membakar kota itu serta mendudukkan kaisar latin serta padri latin. Sebelumnya, kaisar dan padri Konstantinopel selalu yunani. Tahun 1212, ribuan pemuda Perancis diberangkatkan dengan kapal untuk bergabung dengan pasukan salib, namun oleh kapten kapal mereka justru dijual sebagai budak ke Afrika Utara! Reputasi pasukan salib dan respek atasnya sudah semakin pudar.
Serangan salib kelima
(1218-1221) diumumkan oleh Paus Innocentius dan Konzil Lateran IV, yang juga
menetapkan undang-undang inquisisi dan berbagai aturan anti yahudi. Untuk mendapatkan kembali kontrol atas pasukan salib,
jabatan raja Yerusalem digantikan oleh wakil Paus. Jabatan “raja Yerusalem” ini
hanyalah “formalitas idealis”, tanpa kekuasaan sesungguhnya, karena de facto
Yerusalem telah direbut kembali oleh al-Ayubi.
Serangan salib keenam
(1228-1229) dipimpin oleh kaisar Jerman Freidrich II. Sebagai “orang yang dimurtadkan” (excommuned) dia
berhasil merebut kembali Jerusalem. Paus terpaksa mengakui dia sebagai raja
Yerusalem. Sepuluh tahun kemudian Yerusalem berhasil direbut kembali oleh kaum
muslimin.
Serangan salib ketujuh
(1248-1254) dipimpin oleh IX dari Perancis yang telah dinobatkan sebagai “orang suci” oleh Paus Bonifatius VIII.
Meski di negerinya Ludwig dikenal sebagai penegak hukum yang baik, namun ia
memimpin sebuah organisasi yang amburadul sehingga justru tertangkap di Mesir.
Di bawah Paus Gregorius X
(1274) dan juga setelah jatuhnya
Konstantinopel (1453), perang salib pernah diserukan kembali, namun tak pernah
dimulai. Sejak perang salib keempat, perang ini sudah jatuh popularitasnya.
Sementara itu, tanpa di bawah
lambang pasukan salib, pada 1236 Cordoba pusat Daulah Islam di Andalusia
direbut kembali oleh pasukan Katolik Kastilia. Pada 1258 Bagdad –pusat
Khilafah– dihancurkan oleh Mongol-Tartar. Kedua serangan ini juga punya akibat
yang sangat fatal pada sejarah ummat Islam selanjutnya.
Bagi Eropa, hasil positif
perang salib yang utama adalah motivasi yang dalam banyak hal ikut memajukan
Eropa. Ini
karena perang salib mempertemukan bangsa Eropa dengan peradaban yang lebih
tinggi (Qs. al-An’aam [6]: 39).
Efek negatifnya adalah secara teologis Eropa makin terpolarisasi. Dunia
Kristen Barat makin membentengi diri dan bersikap memusuhi terhadap segala yang
berasal dari luar. Dan ini berjalan hingga abad 20. Mentalitas perang salib ini
juga pernah digunakan beberapa penguasa Barat untuk menekan kaum protestan. Dan
pada Perang Dunia II, Hitler memotivasi pasukannya dalam melawan Rusia
sebagai “Perang salib melawan Atheisme”.
Oleh karena itu, bila George W. Bush “kelepasan” menyebut-nyebut perang
salib demi minyak, senjata dan ideologi kapitalisme, hal itu tak perlu
mengherankan lagi.
Analisis Perang Salib
Al-Wakil menuliskan bahwa
sebab-sebab yang mendorong orang-orang Kristen terjun ke medan perang
bertahun-tahun adalah (Qs. Ali-Imran [3]: 165):
1. Penyebab utama perang
salib adalah kedengkian orang-orang Kristen kepada Islam dan umatnya. Ummat
Islam berhasil merebut wilayah-wilayah strategis yang sebelumnya mereka kuasai
(terutama di Timur Tengah). Mereka menunggu kesempatan yang tepat untuk meraih
apa yang hilang dari tangannya, balas dendam terhadap ummat yang
mengalahkannya. Kesempatan itu datang ketika ummat Islam lemah dan kehilangan
jati dirinya yang kuat yang sebelumnya meredam perpecahan dan menyatukan
langkah. Para tokoh agamawan Kristen bangkit menyerukan pembersihan tanah-tanah
suci di Palestina dari tangan-tangan kaum muslimin dan membangun gereja dan pemerintahan
Eropa di dunia Timur. Perang mereka dinamakan perang salib karena
tentara-tentara Kristen menjadikan salib sebagai simbol obsesi suci mereka dan
meletakkannya di pundak masing-masing.
2. Perasaan keagamaan yang
kuat. Orang-orang Kristen meyakini kekuatan gereja dan kemampuannya untuk
menghapus dosa walau setinggi langit.
3. Perlakuan in-toleran
orang-orang Saljuk terhadap orang-orang Kristen dan para peziarah Kristen yang
menuju Yerusalem. Orang-orang Saljuk adalah penguasa wilayah Turki yang relatif
belum lama memeluk Islam dan belum begitu memahami syariat Islam dalam
memperlakukan agama lain.
4.
Ambisi Sri Paus yang ingin menggabungkan gereja Timur
(ortodoks) dengan gereja Katolik Roma. Paus
ingin menjadikan dunia Kristen seluruhnya menjadi satu negara agama yang
dipimpin langsung Sri Paus.
5.
Kegemaran
tokoh-tokoh dan tentara Kristen untuk berpetualang ke negara lain dan
mendirikan pemerintahan boneka di sana.
Bagi para pemimpin Kristen,
kondisi waktu itu sangat tepat untuk memulai serangan ke dunia Islam, karena:
1.
Ada kelemahan
dinasti Saljuk, sehingga “front” terdepan dunia Islam terpecah belah.
2. Tidak adanya orang kuat
yang menyatukan perpecahan ummat Islam. Khilafah de facto terbagi sedikitnya
menjadi tiga negara: Abbasiyah di Bagdad, Umayah di Cordoba dan Fathimiyah di
Kairo.
3. Beberapa kabilah pesisir
telah masuk agama Kristen seperti Genoa dan Venezia, dan ini memuluskan jalan
antara Eropa dan negara-negara Timur.
4. Kemenangan Sri Paus atas
raja sehingga Sri Paus memiliki kekuatan mengendalikan para raja dan gubernur
di Eropa.
Dampak Perang Salib
Bangsa Eropa belajar berbagai
disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam lalu mengarangnya dalam
buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan. Mereka juga
mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum muslimin, sehingga
pasca perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di Eropa. Gustav
Lebon berkata: “Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih mendalam, maka
didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen. Interaksi bangsa Eropa
selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan
faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan
hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.”
Lalu apa yang didapat oleh kaum muslimin? Tidak ada. Ummat Islam tak bisa mengambil apa-apa dari satu pasukan yang bermoral bejat[2], yang sebagian besar berasal dari para penganggur dan penjahat. Perang salib menghabiskan assset ummat baik harta benda maupun putra-putra terbaik. Kemiskinan terjadi karena seluruh kekayaan negara dialokasikan untuk perang. Dekadensi moral terjadi karena perang memakan habis orang laki-laki dan pemuda. Kemunduran ilmu pengetahuan terjadi karena ummat menghabiskan seluruh waktunya untuk memikirkan perang sehingga para ulama tidak punya waktu untuk mengadakan penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali yang berhubungan dengan dunia perang.
Perang salib merupakan salah satu titik balik dari sejarah keemasan ummat Islam. Perang salib yang melelahkan telah ikut berkontribusi atas proses hancurnya Khilafah Abbasiyah, sehingga serangan Tartar atas Bagdad pada 1258 hanya sekedar finalisasi dari proses tersebut.
Menghadapi Perang Salib
Baru
Dengan melihat fakta-fakta
serta analisis di atas, tampak bahwa dari sisi kaum muslimin perang salib
–apapun motif sesungguhnya– selalu hanya berdampak negatif. Namun demikian,
jangankan bila diserang, ummat Islam memang harus memikul amanah al-Qur’an
untuk melawan fitnah (kekufuran) dan kezaliman. Dan kapitalisme pimpinan Amerika
Serikat adalah bentuk termodern dari kekufuran dan kezaliman itu. Sedang Israel
di Palestina adalah front terdepan perang tersebut.
Dari sisi orang-orang Barat, istilah perang salib dihadapi dengan beragam. Pada masyarakat Barat yang sekuler, motivasi religius seperti pada abad 11-13 sudah tak ada lagi. Istilah itu hanya dilontarkan sebagai “penyatu opini” bahwa mereka sama-sama terancam oleh Islam (maka dibuat skenario serangan teror 911 atas WTC), seakan-akan perang salib dimulai oleh kaum muslimin, dan secara militer ummat Islam memang masih memiliki kekuatan yang mampu menggoyang kedigdayaan Barat.
Faktanya, dari sisi manapun, ekonomi, teknologi, militer, ummat Islam
sekarang ini berbeda dengan ummat Islam abad 11-13, yang masih memiliki
khilafah yang berfungsi baik, serta ekonomi dan teknologi yang lebih maju dari
Barat.
Faktanya, sekarang dunia Islam terpecah dalam puluhan negara, yang
kesemuanya dipimpin oleh para diktator yang membebek pada Barat. Mereka
tergantung pada ekonomi dan teknologi Barat. Sedang rakyatnya hidup dengan
berorientasi pada budaya Barat dan gandrung mengkonsumsi produk industri Barat.
Kalau demikian apa yang dicemaskan Barat?
Kebobrokan sistem kapitalisme telah nyata, baik berupa kerusakan
lingkungan, pemiskinan di dunia ketiga maupun disorientasi kehidupan pada
masyarakat Barat sendiri, yang di antaranya tercermin dari peningkatan
penggunaan narkoba dan angka bunuh diri. Orang jelata di Barat akhirnya
merasakan sesuatu yang tidak benar dan tidak adil pada sistem yang diterapkan
atas mereka. Mereka menyadari bahwa sistem itu hanya menguntungkan segelintir
kecil elit mereka, yakni para kapitalis serta politisi yang merealisasi tujuan
para kapitalis itu secara sah.
Dan tidak ada lagi di dunia ini yang bisa membendung laju kapitalisme seperti itu di Barat. Sampai akhirnya, di dunia Islam muncul gerakan-gerakan Islam yang melawan kekufuran kapitalisme itu, baik karena dorongan aqidah, maupun karena kesumpekan hidup akibat praktek kapitalisme di negeri-negeri Islam.
Karena itu, yang dicemaskan Barat, atau secara spesifik: yang dicemaskan
para kapitalis Barat, tak lain adalah geliat gerakan-gerakan Islam.
Rupanya, meski puluhan tahun sudah khilafah dibubarkan dan sistem
kapitalisme diterapkan di dunia Islam, namun selama ummat Islam ini masih ada,
dan selama akses kepada sumber-sumber Islam masih dibuka, selama itu pula masih
akan bermunculan orang-orang dari ummat Islam ini yang menggeliat untuk bangkit
melawan kekufuran, karenakekufuranadalahmusuhabadiIslamsejakparanabi.
Sejarah menunjukkan, perang salib-pun akhirnya dimenangkan oleh kaum
muslimin, setelah tentara salib berkuasa hampir dua abad. Bagdad-pun demikian,
setelah dihancurkan Tartar, akhirnya bangkit kembali. Ini karena ummat Islam
masih ada dan dakwah masih berjalan. Berbeda dengan Andalusia, yang ketika
inquisisi seluruh muslim dihabisi, sehingga sampai sekarang praktis wilayah itu
tidak pernah menjadi muslim kembali.
Karena itu, seandainya perang salib terjadi lagi, maka model yang paling
masuk akal adalah model inquisisi. Ummat Islam akan dihabisi, sebab tidak cukup
menjadikan mereka sekuler, yang masih berpotensi untuk bangkit kembali.
Untuk itu ditempuh strategi penghancuran dakwah dan penghancuran ummat.
Dakwah digilas dengan isu terorisme. Harakah-harakah dakwah yang paling
ideologis diserang lebih dulu, walaupun pada akhirnya, yang paling moderatpun
akan digilas juga, sebagaimana pengalaman di Bosnia. Sedang penghancuran ummat
dilakukan dengan penguasaan total sumber-sumber ekonomi. Maka penguasa manapun
yang sulit diajak “kerjasama” akan dihabisi untuk digantikan dengan agen-agen
mereka. Beserta tentara dan rakyat yang mendukungnya.
Di sisi lain, kekuatan kapitalisme dioptimalkan untuk membiayai penyesatan
opini via media massa, mengorbitkan intelektual yang mendukung mereka (seperti
JIL), membiayai partai politik yang sejalan dengannya, melobby penguasa atau
tokoh masyarakat agar lunak terhadap mereka, membayar demonstrasi yang
mengusung agenda-agenda mereka -sadar ataupun tidak, dan bila perlu membiayai
aksi-aksi teroris yang dipandang bermanfaat untuk kepentingannya –baik sadar
ataupun tidak bahwamerekadimanfaatkan.
Menjawab konspirasi ini, tak ada jalan lain bagi harakah-harakah Islam
selain lebih merapatkan barisan agar mendapatkan energi yang cukup untuk
secepatnya menegakkan kembali Khilafah Islamiyah, karena hanya institusi ini
yang akan sanggup menahan “perang salib” tersebut bahkan membalikkannya menjadi
jihad fii sabilillah, untuk membuka Roma, sebagaimana nubuwaah Rasul.
Referensi:
1. Imam AS-SUYUTHI
(1498): Tarikh Khulafa’. (penerjemah: Samson Rahman). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
2001.
2.
IBNU KHALDUN
(1332–1406): Muqaddimah. (penerjemah: Ahmadie Thoha). Jakarta, Pustaka Firdaus,
2000. Muhammad Sayyid AL-WAKIL (1989): Wajah Dunia Islam dari Dinasti Umayyah
hingga Imperialisme Modern. (penerjemah: Fadhli Bahri). Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1998.
3.
Cyril GLASSE: Enskilopedi Islam Ringkas. Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1999.
4.
Gerhard KONZELMANN (1988): Die Islamische
Herausforderung. 5. Aufl. dtv, 1991.
5.
Franklin H.
LITTELL (1976): Atlas zur Geschichte des Christentums (The Macmillan Atlas
History of Christianity). New York: Macmillan Publishing Co.; Deutsche Ausgabe
- Brockhaus Verlag, 1989.
6.
Werner STEIN (1979): Der grosse Kulturfahr-plan. Berlin: Herbig, 1979.
[1] Ibnu Katsir (dalam [3]: 167) berkata bahwa pasukan
Armanus Raja Romawi terdiri dari 35.000 Batrix, dan tiap Batrix mengepalai
200.000 personil kavaleri. Artinya, tujuh milyar personil! Tampak angka ini
terlalu dilebih-lebihkan oleh sumber Ibnu Katsir.
[2] Pada tentara salib bahkan terdapat suatu “corps
pelacur” dari Perancis khusus untuk menghibur pasukan salib yang berbulan-bulan
jauh dari keluarga.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan Hanya Baca Saja, Di Tunggu Komentarnya ^_^
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.