Sholat...., dia mungkin satu diantara sahabat setia yang selalu hadir menghampiri ketika kita membutuhkannya atau pun ketika kita enggan menemuinya. Kadang kita menerimanya dengan lapang hati tapi justru lebih banyak dengan berat hati, itupun di sela-sela sisa waktu kita, dengan perhatian yang tidak utuh, sekedar menghiasi sudut sempit ruangan akal dan kalbu kita. Kadang kita menemuinya dengan tergesa-gesa, pikiran semrawut, hati yang tidak tenang, namun dia tetap sabar menerima kita dalam keadaan apapun, bahkan dia justru seringkali lebih sabar membantu mencairkan kebekuan akal dan hati kita yang hampir saja keras membatu bak tiang beton jembatan Pasupati yang tak jadi-jadi. Untungnya kita masih bisa menghargainya walau setahun dua kali atau bahkan seminggu sekali, lumayan lah teu bongkor teuing !
Namun kenapa tiba-tiba kita harus selalu menyertainya? Harus selalu menemuinya? Menerima kehadirannya setiap hari? Siapa yang mengharuskan itu? Ah.. ini mah kebetulan saja ayah dan ibu kita sudah lama mengenalnya, jadi kita pun lama-lama kenal juga dan semakin akrab, terus malu dong sama orang, wong semuanya juga sudah tahu dan mengenalnya, dia kan selalu menemui setiap ‘orang’ yang katanya banyaknya memenuhi lebih dari 80% ruangan rumah Indonesia yang megah nan semrawut ini.
Kita pasti pantang untuk meninggalkan dan mencampakkannya, karena kita tahu akibatnya. Bahkan ketika orang memaksa kita untuk meninggalkannya, kita pun akan sangat marah dan senantiasa membelanya, karena meninggalkannya berarti melepaskan identitas terakhir diri kita, bisa-bisa orang itu kena ‘bogem’ kepalan tangan kita yang mendadak kuat dan keras pukulannya sekeras pukulan bima dalam kisah mahabarata.
Namun sayangnya, sekian lama bersamanya kita pun tak pernah begitu mengenalnya, tak pernah berusaha memahami kehadirannya, yang katanya dia hadir untuk mencegah kita dari segala kekejian dan kemungkaran di muka bumi ini. Bukankah dia dihadirkan untuk memfasilitasi hubungan yang harmonis antara kita dengan Penguasa Tunggal alam raya ini! Bukankah dia dihadirkan untuk ikut menjalin ikatan cinta yang kuat antara hamba dengan Rabb-nya? Bukankah dia dihadirkan untuk mendidik kita menjadi hamba yang selalu taat kepada Perintah Rabb-nya?
Mmmmh..., mungkin kita ini memang teman yang buruk, seringkali kita bersamanya, kita pun tak pernah lupa untuk mengingkari Perintah-Nya, tak pernah ingat untuk hanya mentaati-Nya di setiap relung kehidupan kita, tak pernah mau mengakui-Nya sebagai Raja yang memiliki Kekuasaan mutlak atas alam tempat tinggal kita ini. Kita merasa lebih senang menjalani hidup tanpa kehadiran-Nya, tanpa banyak diatur oleh-Nya, walau sebenarnya kita pun tak mau benar-benar kehilangan-Nya karena ‘kadang-kadang’ Dia memang dibutuhkan – seolah olah kita yang mengendalikan-Nya – atau bahkan kita pun akan marah kalau ada orang yang mengatakan bahwa kita memang tak pernah mempercayai-Nya atau justru mengingkari-Nya.
Memang kita ini sering aneh dan membingungkan, kita ini hamba yang kadang-kadang ingin bertindak seperti Pencipta, satu saat kita ingin mencintai-Nya tapi selalu enggan berkorban untuk-Nya!
Tapi tentu saja, saat ini kita pun sadar bahwa tak boleh berlama-lama dengan keanehan diri ini, dan berniat untuk mulai beranjak meninggalkan keanehan dan kebingungan ini. Pasti kita merasa ngeri kalau harus meninggalkan alam ini dan kembali kehadirat-Nya dengan membawa diri yang aneh dan wajah yang hitam legam sehitam ‘bujur panci geheng urut ngaliwet’. Amalan sholat yang tak pernah kita tinggalkan itu tiba-tiba saja dilemparkan dan dicampakan tanpa makna oleh Sang Khaliq Pengatur Alam Semesta ini, karena kita lalai untuk tetap menjadi seorang hamba yang taat, bukan hanya saat di depan kain sajadah tapi di segala ruang dan waktu, di kala senang dan susah, di saat lapang dan sibuk sekalipun.
Sekarang sampai beberapa saat ke depan adalah kesempatan terbaik untuk terus-menerus merenovasi bangunan diri ini. Tak ada kata terlambat, tapi tak ada jaminan perpanjangan waktu yang lama. Saat ini kita tancapkan niat yang kuat untuk melangkah hidup dengan benar menjadi hamba yang dirahmati-Nya, sekarang kita berubah dan itu berlaku sepanjang masa. Insya ALLAH kita mampu karena hanya Dia yang memberi kemampuan.
Fa idzaa ‘azzamta fa tawakkal ‘alallaah
Namun kenapa tiba-tiba kita harus selalu menyertainya? Harus selalu menemuinya? Menerima kehadirannya setiap hari? Siapa yang mengharuskan itu? Ah.. ini mah kebetulan saja ayah dan ibu kita sudah lama mengenalnya, jadi kita pun lama-lama kenal juga dan semakin akrab, terus malu dong sama orang, wong semuanya juga sudah tahu dan mengenalnya, dia kan selalu menemui setiap ‘orang’ yang katanya banyaknya memenuhi lebih dari 80% ruangan rumah Indonesia yang megah nan semrawut ini.
Kita pasti pantang untuk meninggalkan dan mencampakkannya, karena kita tahu akibatnya. Bahkan ketika orang memaksa kita untuk meninggalkannya, kita pun akan sangat marah dan senantiasa membelanya, karena meninggalkannya berarti melepaskan identitas terakhir diri kita, bisa-bisa orang itu kena ‘bogem’ kepalan tangan kita yang mendadak kuat dan keras pukulannya sekeras pukulan bima dalam kisah mahabarata.
Namun sayangnya, sekian lama bersamanya kita pun tak pernah begitu mengenalnya, tak pernah berusaha memahami kehadirannya, yang katanya dia hadir untuk mencegah kita dari segala kekejian dan kemungkaran di muka bumi ini. Bukankah dia dihadirkan untuk memfasilitasi hubungan yang harmonis antara kita dengan Penguasa Tunggal alam raya ini! Bukankah dia dihadirkan untuk ikut menjalin ikatan cinta yang kuat antara hamba dengan Rabb-nya? Bukankah dia dihadirkan untuk mendidik kita menjadi hamba yang selalu taat kepada Perintah Rabb-nya?
Mmmmh..., mungkin kita ini memang teman yang buruk, seringkali kita bersamanya, kita pun tak pernah lupa untuk mengingkari Perintah-Nya, tak pernah ingat untuk hanya mentaati-Nya di setiap relung kehidupan kita, tak pernah mau mengakui-Nya sebagai Raja yang memiliki Kekuasaan mutlak atas alam tempat tinggal kita ini. Kita merasa lebih senang menjalani hidup tanpa kehadiran-Nya, tanpa banyak diatur oleh-Nya, walau sebenarnya kita pun tak mau benar-benar kehilangan-Nya karena ‘kadang-kadang’ Dia memang dibutuhkan – seolah olah kita yang mengendalikan-Nya – atau bahkan kita pun akan marah kalau ada orang yang mengatakan bahwa kita memang tak pernah mempercayai-Nya atau justru mengingkari-Nya.
Memang kita ini sering aneh dan membingungkan, kita ini hamba yang kadang-kadang ingin bertindak seperti Pencipta, satu saat kita ingin mencintai-Nya tapi selalu enggan berkorban untuk-Nya!
Tapi tentu saja, saat ini kita pun sadar bahwa tak boleh berlama-lama dengan keanehan diri ini, dan berniat untuk mulai beranjak meninggalkan keanehan dan kebingungan ini. Pasti kita merasa ngeri kalau harus meninggalkan alam ini dan kembali kehadirat-Nya dengan membawa diri yang aneh dan wajah yang hitam legam sehitam ‘bujur panci geheng urut ngaliwet’. Amalan sholat yang tak pernah kita tinggalkan itu tiba-tiba saja dilemparkan dan dicampakan tanpa makna oleh Sang Khaliq Pengatur Alam Semesta ini, karena kita lalai untuk tetap menjadi seorang hamba yang taat, bukan hanya saat di depan kain sajadah tapi di segala ruang dan waktu, di kala senang dan susah, di saat lapang dan sibuk sekalipun.
Sekarang sampai beberapa saat ke depan adalah kesempatan terbaik untuk terus-menerus merenovasi bangunan diri ini. Tak ada kata terlambat, tapi tak ada jaminan perpanjangan waktu yang lama. Saat ini kita tancapkan niat yang kuat untuk melangkah hidup dengan benar menjadi hamba yang dirahmati-Nya, sekarang kita berubah dan itu berlaku sepanjang masa. Insya ALLAH kita mampu karena hanya Dia yang memberi kemampuan.
Fa idzaa ‘azzamta fa tawakkal ‘alallaah
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan Hanya Baca Saja, Di Tunggu Komentarnya ^_^
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.